Jakarta - MediaTitikKarya.com - Berikut penjelasan kronologi mengenai kasus skandal PT Pertamina yang tengah ramai disorot belakangan ini.
Seperti diketahui, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu sedang tersandung dugaan kasus korupsi.
Yang mana, total kerugian akibat praktik ilegal tersebut disinyalir mencapai Rp193,7 triliun melalui PT Pertamina Patra Niaga.
Berdasarkan informasi dihimpun, oplosan Pertamax ini berasal dari campuran Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertalite.
Sebagaimana dikutip mediatitikkarya.com dari portal media Pokoksatu.id dan kaltimpost.jawapos.com pada Rabu (25/2/2025).
Dalam unggahannya, praktik tindak pidana ini dikonfirmasi menghabiskan kas negara sebanyak ratusan triliun rupiah.
“Tindak pidana korupsi yang membuat negara mengalami kerugian mencapai Rp 193,7 triliun yang bersumber dari berbagai komponen,” jelas dikutip.
Diketahui, kasus ini terkuak usai para penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan kejanggalan dalam operasional PT Pertamina Patra Niaga.
Oleh karena itu, para penyidik sontak mengambil langkah tegas untuk mengungkap kejanggalan tersebut.
Hal ini diungkapkan langsung oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar.
Abdul menuturkan bahwa kasus korupsi yang dilakukan oknum pejabat PT Pertamina Patra Niaga ini sudah berlangsung sejak 2018 silam.
Dalam praktiknya, sebanyak 7 tersangka diduga terbukti melakukan tindak pidana dalam kasus tersebut.
Diketahui, hal ini terkuak usai penyidik Jampidsus menemukan beberapa bukti dari banyaknya saksi yang dimintai keterangan.
“Berdasarkan alat bukti tersebut, tim penyidik pada malam hari ini menetapkan tujuh orang sebagai tersangka,” ucapnya.
Yang mana, dari ketujuh tersangka ini diketahui juga melibatkan beberapa pihak swasta dalam kasus korupsi tersebut.
Berikut 7 tersangka kasus korupsi PT Pertamina Patra Niaga:
1. Riva Siahaan (RS), Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
2. Sani Dinar Saifuddin (SDS), Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.
3. Yoki Firnandi (YF), Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
4. Agus Purwono (AP), VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
5. Muhammad Keery Andrianto Riza (MKAR), Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
6. Dimas Werhaspati (DW), Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim.
7. Gading Ramadan Joede (GRJ), Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Lebih lanjut, ketujuh tersangka ini diketahui melakukan tindak pidana dengan cara memanipulasi produksi minyak dalam negeri.
Dalam praktiknya, Dirut PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan yang memiliki andil penting dalam kasus tersebut.
Yang mana, dirinya mengintruksikan agar produksi minyak dalam negeri itu diturunkan tingkat kuantitasnya.
Diketahui, langkah ini bertujuan untuk mencegah seluruh pasokan minyak bumi dalam negeri terserap sepenuhnya.
Sehingga, perusahaan terdorong untuk melakukan impor minyak lantaran jumlah yang diproduksi sedikit.
Tidak sendirian, Riva ditemani oleh Sani Dinar Saifuddin, dan Agus Purwono dalam menjalankan niat jahat tersebut.
Abdul menambahkan bahwa ketiga pihak tersebut sengaja menurunkan kapasitas produksi kilang minyak di dalam negeri.
Kemudian, para pelaku ini juga menolak penawaran minyak mentah dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sebelumnya telah ditetapkan.
juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai Dengan yang di inginkan dan tidak memenuhi nilai ekonomis. Maka, secara otomatis bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.
Padahal, harga yang ditawarkan oleh pihak KKKS diketahui masih dalam kisaran harga pasar normal.
Terlebih lagi, minyak tersebut sebenarnya masih bisa diolah lebih lanjut untuk mengurangi kadar merkuri dan sulfurnya.
Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional mengimpor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang.
“Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” katanya.
Ia mengatakan, dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, diperoleh fakta adanya perbuatan jahat antara penyelenggara negara, yakni subholding Pertamina, dengan broker.
“Tersangka RS, SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” ucapnya.
Tentu, tindakan ini bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018.
Yang mana, dalam peraturan tersebut mewajibkan KKKS menawarkan minyak mentah mereka kepada pihak Pertamina terlebih dahulu sebelum mengekspornya.
Kendati demikian, Pertamina justru lebih memilih untuk mengimpor minyak mentah dan produk kilang.
Alhasil, akibat praktik tersebut merugikan negara karena biaya impor lebih tinggi dibandingkan dengan produksi dalam negeri.
Tidak hanya pihak Pertamina, kasus ini turut menyeret sejumlah broker swasta, termasuk Muhammad Keery Andrianto Riza dari PT Navigator Khatulistiwa.
Yang ditemani oleh Dimas Werhaspati dari PT Jenggala Maritim, dan Gading Ramadan Joede dari PT Orbit Terminal Merak.
Mereka bekerja sama dengan oknum pejabat Pertamina untuk mengatur harga serta memastikan kemenangan pihak broker tertentu secara tidak sah.
Yang mana, dalam proses pengadaan produk kilang minyak, Riva seharusnya membeli RON (Research Octane Number) 92.
Namun, kenyataannya yang dibeli oleh Dirut PT Pertamina Patra Niaga ini tidak lain adalah RON 90.
Seperti diketahui, RON 90 merupakan kualitas BBM berkualitas rendah jika dibandingkan dengan yang seharusnya dibeli Pertamina.
Produk tersebut kemudian dicampur agar terlihat sesuai dengan spesifikasi RON 92, tindakan yang jelas melanggar ketentuan yang berlaku.
“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga tersangka RS melakukan pembayaran,” jelas Abdul.
“Dan pembelian bahan bakar minyak RON 92. Padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 atau lebih rendah,” lanjutnya
Lebih lanjut, kasus ini berakhir dengan melibatkan Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina Internasional Shipping.
Yang mana, dirinya melakukan pengadaan impor dengan cara manipulasi harga melalui praktik mark-up sebesar 13-15%.
Tentu, akibat tindakan ilegal tersebut memberikan memberikan keuntungan besar bagi para pihak broker.
Tidak heran, dampak dari manipulasi ini menyebabkan lonjakan harga impor yang berdampak pada pasar dalam negeri.
Sebab, praktik kriminal tersebut akan meningkatkan harga bahan bakar di dalam negeri yang berujung memperbesar beban subsidi negara.
RED